Tatanan kehidupan manusia kini berusaha untuk menempuh cara pandang baru dari cara pandang sebelumnya yang menuai berbagai macam kritik didalamnya, melalui proses dialektika para pemikir sudah merancang hal ini jauh - jauh hari hingga terceruslah gagasan postmodernisme sebagai sebuah antithesis ataupun revisi atas kehidupan modern, semenjak revolusi industri lahir zaman modern mulai bergulir, semenjak itu pula peradaban manusia mengalami lompatan jauh terutama disisi teknologi dan ilmu pengetahuan akan tetapi dibalik layar panggung modernisme ada gundukan benang kusut yang harus diurai, persis seperti yang dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert Marcuse bahwa pencerahan tersebut melahirkan sebuah penindasan dan dominasi, disamping juga melahirkan kemajuan.[1]
Peradaban manusia modern telah menciptakan banyak masalah baru didalamnya, nestapa manusia modern digentayangi dengan berbagai macam ancaman baik itu peperangan, kemiskinan dan yang tak kalah mengkhawatirkan yakni kerusakan lingkungan, zaman modern telah menciptakan masalah lingkungan yang sangat memprihatinkan, alam yang dahulunya menjadi sahabat hidup manusia, sebagai tempat manusia bereksplorasi kini bergeser menjadi tempat manusia mengeksploitasi, kerusakan alam terjadi dimana - mana imbas dari teknologi yang tidak ramah lingkungan, maraknya pembangunan industri yang berdampak positif bagi perekonomian tak lagi melihat dampak negatif yakni mengeksploitasi sumber daya alam untuk bahan baku industri. Inilah zaman modern, zaman dimana manusia memperlakukan alam seperti halnya “PSK” dan bukan layaknya seorang kekekasih, mereka dipakai terus menerus tanpa mau ambil pusing untuk menjaga ataupun merawatnya.
Agama menjadi salah satu hal yang begitu dibutuhkan bagi beberapa kelompok manusia, walaupun eksistensinya di zaman modern mengalami goncangan oleh bebagai arus pemikiran akan tetapi keberadaannya tetap eksis hingga saat ini, dalam kaitannya dengan manusia dan alam, agama menjadi salah satu sumber etika manusia untuk mengarahkan manusia pada perbuatan baik dan benar walau terkadang agama seringkali dijadikan alat untuk tindakan kekerasan dan perusakan, agama juga ditengarai memiliki peran dalam kerusakan lingkungan, telaah ini menitik beratkan pada terdapatnya beberapa ayat yang cenderung antroposentrik dan bersfiat eksploitatif yang kemudian pemahaman akan ayat tersebut berakibat pada mengakarnya paham antroposentirsme dikalangan agamawan, antroposentrisme dimaknai sebagai teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah manusia. Sehingga kepentingan manusia paling menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara langsung atau tidak [2] yakni alam diciptakan untuk manusia, bersifat sebagai objek, hal ini yang kemudian dianggap sebagai salah satu faktor yang melatar belakangi fenomena eksploitasi manusia terhadap alam. kemudian yang menjadi masalah selanjutnya adalah kerusakan lingkungan kurang mendapatkan tempat dalam sanubari agamawan, seperti halnya dalam agama islam, kaum muslimin sering mendambakan kehidupan akhirat berupa surgawi dengan berbagai kenikmatan yang ada didalamnya sehingga mereka mengejarnya dengan kesusah payahan dan tidak sadar akan realitas kehidupan yang dijalaninya, akhirat sebagai salah satu doktrin dari berbagai agama besar nyatanya telah mengaburkan pandangan para agamawan terhadap kehidupan dunia, mereka akan berorientasi untuk mengejar keselamatan dunia seberang (akhirat) hingga tak perduli dengan dunia sekarang sebagai tempatnya tinggal dan hidup, maka tak heran perilaku seperti ini menjadikan beberapa orang memiliki pandangan kelabu tentang agama,
Agamawan di zaman modern dihadapkan dengan dua pilihan atas ekologi, satu pilihan untuk tidak mengambil sikap atau dengan pilihan kedua yakni bergerak untuk kepeduliaan, perihal keduanya merupakan perkara besar yang mana mereka para agamawan harus mengambil salah satu sikap sebagai konsekuensi konsistensinya dalam beragama, upaya membentuk keshalehan ekologis sebenarnya sudah lama digalakkan, terlebih pada gerakan yang bersifat teoritis, dari para pemikir agamawan sudah membincangkannya dalam diskursus filsafat perenial, bahwa beranjak dari telaah atas krisis dan ancaman zaman modern yang menjadi akar masalahnya adalah krisis spiritual terlebih dalam memandang alam semesta, perenialis menjawab krisis tersebut dengan menawarkan sebuah gagasan untuk menghidupkan kembali nilai – nilai tradisional, dalam filsafat perenial ini berusaha untuk membangkitkan kembali kearifan tradisional yang telah banyak dilupakan, padahal dalam kearifan tersebut terletak kebahagiaan dan juga keselamatan manusia. Oleh karena itu, pembahasan dalam filsafat perenial ini bertujuan untuk memulihkan kembali spiritual masyarakat di zaman modern.[3] Dalam islam modern gerakan reformasi ekologi secara teoritis juga telah ditengarai melalui pengembangan disiplin ilmu fikih oleh para ahli, hingga membuahkan hasil berupa Fikih Biah (Fikih Lingkungan), upaya pengembangan kajian ilmu fikih terutama dalam konstruksi maslahah membuahkan sebuah disiplin ilmu baru, konsep maslahah menjadi basis teori untuk gerakan penjagaan lingkungan yang dimotori oleh agama, masih terdapat banyak gerakan teoritis yang secara khusus mengkampanyekan kesadaran akan penjagaan dan perawatan alam, akan tetapi ketika diimplementasikan dalam masyarakat justru mengalami sebuah kegalauan, oleh karenanya gerakan teoritis harus diarahkan menuju gerakan praktis secara efisien, yang mana dengan gerakan ini masyarakat akan mudah menerima dan menjalankannya, peran pemuka agama dinilai memiliki posisi strategis dimasyarakat maka perlu ada gagasan baru mengenai ekologi, perlu adanya penceramah – penceramah yang membahas isu ekologi, perlu adanya khutbah yang bermuatan ekologi, perlu adanya instansi pendidikan dan rumah ibadah yang serat akan nilai ekologi serta perlu adanya “fatwa ekologi”. Wallahu’alam
Rival maulana
Bekasi 10 okt 2022
[1]Setiawan, J., & Sudrajat, A. (2018). PEMIKIRAN POSTMODERNISME DAN PANDANGANNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN. Jurnal Filsafat, 28(1).
[2] John A. Grim (ed), Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2003).
[3] Kuswanjono, A. (2007). Filsafat Perennial
dan Rekonstruksi Pemahaman Keberagamaan. Jurnal Filsafat, 1(1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar